Saat
kata ‘Solo’ terdengar di telinga, hanya satu ingatan kuat yang tiba-tiba muncul
memenuhi isi kepalaku : City Walk. Sebuah jalan yang telah menyaksikan
kedatangan kami di kota Solo dengan perasaan gembira nan ceria.
Berbekal
dengan sebongkah semangat, beberapa lembar uang ala kantong mahasiswa dan
sebentuk keberanian kecil model perantau tingkat provinsi, kami bertolak ke
Solo lewat kereta andalan anak muda pencari ilmu yang bernama Prameks.
Lempuyangan-Solo Balapan, bukanlah perjalanan yang memakan waktu lama sehingga
latar dibalik jendela kereta masih tetap sama dengan saat kami naik, terang
terpancari sinar mentari. Jam setengah satu siang kami sampai, satu setengah
jam dari waktu keberangkatan.
Kami
bertiga (Aku, Nurul, dan Karomah) yang merasa sebagai mahasiswi kurang
pengalaman ini langsung mengabadikan foto stasiun Balapan Solo yang notabene
sangat terkenal pada masa kejayaan Didi Kempot. Kemudian kami segera
melanjutkan perjalanan setelah sholat di Mushola stasiun.
Kami
menuju Pasar Klewer dengan menaiki angkutan umum bis kecil. Beruntung kami
merasa menjadi pengunjung yang tidak tahu apakah punya kesempatan lagi ke Solo
atau tidak, sehingga kami seolah-olah merekam dengan jeli setiap jalan dengan
mata dan ingatan kami. Karena angkutan kota tidak sampai pada tujuan kami, kami
harus mencari angkutan lagi dengan berjalan kaki. Kami kemudian naik Trans Solo
batik. Bertemu dengan seorang pria ramah di bus memberi kesan tersendiri bagi
kami yang terbilang cupu ini, apalagi bagi seorang penulis ulung sekelas Nurul,
pria itu menjadi inspirasi sendiri untuk sebuah cerpen ciptaannya.
Kami
sampai di dekat patung Slamet Riyadi dan langsung mengabadikan fotonya. Lalu,
kami menyebrang jalan dan menuju Pasar yang kami cari. Sebenarnya sih tidak ada
yang kami cari di pasar Klewer itu, hanya saja kami membutuhkan destinasi yang
jelas untuk perjalanan kami. Sebelum sampai pasar, kami melewati alun-alun kota
Solo. Alun-alunya cukup ramai karena akan ada acara di sana. Melihat dari
jalan, gapura, alun-alun, dan bangunan-bangunan kunonya, kami menyimpulkan
bahwa Solo bukan kota yang jauh berbeda dengan Jogja : kota berbudaya.
Selesai
mengelilingi Pasar Klewer, kami mampir menuju alun-alun dan kemudian sholat di
Masjid Agung dekat alun-alun. Merasa belum puas karena perjalanan hanya
biasa-biasa saja, kamipun berinisiatif untuk melakukan hal yang lebih
menantang. Kami berencana pulang ke stasiun Balapan dengan berjalan kaki.
Kami
memulai menapakan alas sepatu kami di jalan dengan penuh keyakinan. Dan melewati
City Walk akan membuatku menyesal jika tadi tidak mengambil keputusan untuk pulang
dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan yang benar-benar mengagumkan. Aku kagum
dengan pemerintah yang memberikan fasilitas kepada para pejalan kaki untuk
menikmati aktifitasnya. Tak ada jalan semacam itu di kota kami sehingga mungkin
kami mengaguminya secara berlebihan. Namun, tidak berlebihan jika aku jatuh
cinta pada City Walknya, seperti cinta seorang pecinta, yang tidak punya alasan untuk
mencintai seseorang.
Kami menikmati perjalanan dengan kaki kami di sepanjang City Walk hingga hari pun hampir gelap. Kami lalu memotong jalan dengan sekedar mengira-ngira bahwa jalan di seberang sana adalah alternatif jalan menuju stasiun Balapan. Ternyata, rekaman tentang jalan yang kami lalui saat naik bus di awal perjalanan tadi sangat membantu kami di perjalanan pulang ini.Kami akhirnya menemukan jalan pulang ke stasiun setelah menunaikan sholat maghrib di sebuah mushola karena bantuan seorang bapak di museum pers yang menunjukkan arah ke stasiun.
|
Tiket kereta Prameks
|
|
Karcis sepeda di stasiun Lempuyangan |
|
Sampai stasiun |
|
Bagian depan stasiun |
|
di depan patung : Nurul, dan Aku |
|
Aku dan Karomah di Alun-alun Solo |
|
di depan Masjid Agung |
|
Karomah, Aku, Nurul |
|
City Walk |
|
Bapak yang menunjukan arah ke stasiun |
|
Stasiun Solo Balapan di malam hari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar