Selasa, 05 November 2013

City Walk : cinta yang tak beralasan


Saat kata ‘Solo’ terdengar di telinga, hanya satu ingatan kuat yang tiba-tiba muncul memenuhi isi kepalaku : City Walk. Sebuah jalan yang telah menyaksikan kedatangan kami di kota Solo dengan perasaan gembira nan ceria.
Berbekal dengan sebongkah semangat, beberapa lembar uang ala kantong mahasiswa dan sebentuk keberanian kecil model perantau tingkat provinsi, kami bertolak ke Solo lewat kereta andalan anak muda pencari ilmu yang bernama Prameks. Lempuyangan-Solo Balapan, bukanlah perjalanan yang memakan waktu lama sehingga latar dibalik jendela kereta masih tetap sama dengan saat kami naik, terang terpancari sinar mentari. Jam setengah satu siang kami sampai, satu setengah jam dari waktu keberangkatan.
Kami bertiga (Aku, Nurul, dan Karomah) yang merasa sebagai mahasiswi kurang pengalaman ini langsung mengabadikan foto stasiun Balapan Solo yang notabene sangat terkenal pada masa kejayaan Didi Kempot. Kemudian kami segera melanjutkan perjalanan setelah sholat di Mushola stasiun.
Kami menuju Pasar Klewer dengan menaiki angkutan umum bis kecil. Beruntung kami merasa menjadi pengunjung yang tidak tahu apakah punya kesempatan lagi ke Solo atau tidak, sehingga kami seolah-olah merekam dengan jeli setiap jalan dengan mata dan ingatan kami. Karena angkutan kota tidak sampai pada tujuan kami, kami harus mencari angkutan lagi dengan berjalan kaki. Kami kemudian naik Trans Solo batik. Bertemu dengan seorang pria ramah di bus memberi kesan tersendiri bagi kami yang terbilang cupu ini, apalagi bagi seorang penulis ulung sekelas Nurul, pria itu menjadi inspirasi sendiri untuk sebuah cerpen ciptaannya.
Kami sampai di dekat patung Slamet Riyadi dan langsung mengabadikan fotonya. Lalu, kami menyebrang jalan dan menuju Pasar yang kami cari. Sebenarnya sih tidak ada yang kami cari di pasar Klewer itu, hanya saja kami membutuhkan destinasi yang jelas untuk perjalanan kami. Sebelum sampai pasar, kami melewati alun-alun kota Solo. Alun-alunya cukup ramai karena akan ada acara di sana. Melihat dari jalan, gapura, alun-alun, dan bangunan-bangunan kunonya, kami menyimpulkan bahwa Solo bukan kota yang jauh berbeda dengan Jogja : kota berbudaya.
Selesai mengelilingi Pasar Klewer, kami mampir menuju alun-alun dan kemudian sholat di Masjid Agung dekat alun-alun. Merasa belum puas karena perjalanan hanya biasa-biasa saja, kamipun berinisiatif untuk melakukan hal yang lebih menantang. Kami berencana pulang ke stasiun Balapan dengan berjalan kaki.
Kami memulai menapakan alas sepatu kami di jalan dengan penuh keyakinan. Dan melewati City Walk akan membuatku menyesal jika tadi tidak mengambil keputusan untuk pulang dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan yang benar-benar mengagumkan. Aku kagum dengan pemerintah yang memberikan fasilitas kepada para pejalan kaki untuk menikmati aktifitasnya. Tak ada jalan semacam itu di kota kami sehingga mungkin kami mengaguminya secara berlebihan. Namun, tidak berlebihan jika aku jatuh cinta pada City Walknya, seperti cinta seorang pecinta, yang tidak punya alasan untuk mencintai seseorang. 

Kami menikmati perjalanan dengan kaki kami di sepanjang City Walk hingga hari pun hampir gelap. Kami lalu memotong jalan dengan sekedar mengira-ngira bahwa jalan di seberang sana adalah alternatif jalan menuju stasiun Balapan. Ternyata, rekaman tentang jalan yang kami lalui saat naik bus di awal perjalanan tadi sangat membantu kami di perjalanan pulang ini.Kami akhirnya menemukan jalan pulang ke stasiun setelah menunaikan sholat maghrib di sebuah mushola karena bantuan seorang bapak di museum pers yang menunjukkan arah ke stasiun.






Tiket kereta Prameks



Karcis sepeda di stasiun Lempuyangan 



Sampai stasiun

Bagian depan stasiun
di depan patung : Nurul, dan Aku








Aku dan Karomah di Alun-alun Solo

di depan Masjid Agung


Karomah, Aku, Nurul

City Walk









Bapak yang menunjukan arah ke stasiun

Stasiun Solo Balapan di malam hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar