Rabu, 26 Februari 2014

-ddkusmile ^_^

Ini udah minggu ke 33 bayi kecil ada di rahimku.. Dia udah makin lucu loh. Nendang-nendang, main-main setiap harinya. Bahkan, di malam yang larut dia masih sering bergerak-gerak, mungkin lapar tuh. Sekarang dia makin jarang bobonya, cuma sebentar doang. Alhamdulillah sekarang udah bareng sama Abanya, jadi ga cuma main sama aku.Kemarin dd baru beli baju bayi sama popok,hehe imut-imut banget, makin ga sabar nunggu dia lahir. Abanya sayang banget sama dia, dia kebangganya banget. Memang sejak dulu Abanya dd pengin anak laki-laki, bahkan sebelum menikah dan kenal sama aku. Dulu Abanya dd, pacarnya orang-orang keturunan arab yang cantik-cantik. Abanya dd sudah bercita-cita punya anak laki-laki yang dinamakan Hamzah. Waktu aku tahu kalau Hamzah itu nama yang direncanakan sama pacar-pacarnya dulu, aku cemburu, tapi sebenarnya aku suka nama Hamzah karena itu nama pahlawan muslim yang gagah dan pemberani. Akhirnya aku setuju kalau mau dinamai Hamzah. 

Banyak sekali keajaiban yang aku alami selama dd ada di perutku. Trimester awal dia membuatku merasakan gangguan tubuh akibat perubahan hormon. Aku pusing-pusing dan muntah-muntah, bahkan sampai tidak enak makan. Dibalik itu aku sedang beradaptasi dengan duniaku yang baru dan aku mendapat pelajaran bahwa menjadi seorang ibu tidaklah mudah. Pelajaran ke dua adalah bahwa sosialisasi sangat penting untuk menjalani hidup di masyarakat. Ini semacam seleksi alam, siapa yang tidak bisa menyesuaikan dengan lingkungan akan gugur dan aku termasuk yang gugur karena belum bisa beradaptasi dengan masyarakat sebagai seorang ibu-ibu pada umumnya. Aku masih terbawa kebiasaan lama sebagai anak dan pelajar yang masih ketergantungan dengan orang-orang di sekitar. Sedangkan pada saat itu aku dilepas sendiri di masyarakat yang bukan lingkunganku dan aku sendiri, karena suamiku di Jakarta. Beruntung aku masih punya teman-teman yang kadang berkunjung. 

Trimester kedua, dd sudah menonjol di perut. Aku sudah bisa mengajaknya bicara dan mendengarkanya musik, tapi aku masih merasa sangat malas melakukan apa-apa. Aku kuliah dan mengaji hanya datang untuk hadir, tidak serius sama sekali. Aku terus mencoba bersabar bertahan di masyarakat itu. Hal yang terus menguatkanku yang pertama adalah kuasa Allah. Yang kedua, cita-cita aku dan Abanya dd. Abanya dd ingin aku selesaikan kuliahku, aku juga. Hanya dengan bertahan dengan keadaan ini sampai semester ini habis baru aku bisa memungkinkan menyelesaikan kuliah. Saat-saat yang beratpun harus kulewati dengan tetap berusaha merasa tetap gembira. Aku tidak mau banyak pikiran, karena kasian dd kalau aku stress akan mempengaruhi psikologisnya juga. Dd pun akhirnya sudah bisa menghiburku, dia sudah bisa menendang dan semakin aktif gerakanya. Pada trimester yang ke dua ini, aku mendapatkan pelajaran bahwa setelah menikah, kita akan punya saling ketergantungan yang sangat tinggi dengan pasangan. Dan satu lagi, karena pada saat itu aku sering bolak-balik dengan kereta menurutku hidup ini adalah suatu perjalanan dan tidak selamanya kita berada di dunia ini.

Akhirnya saat yang ditunggu datang juga. Datalanglah trimester ke tiga dan selesailah semester 5ku sehingga aku bisa meninggalkan tempat pengasinganku. Aku tinggal di kampungku selama 20 hari lalu dilanjutkan ke Jakarta. Di kampung, aku banyak merenung tentang hidup ini. Aku melihat kedua orang tuaku yang bekerja setiap hari untuk hidup sekeluarga dan sekarang aku sudah menjadi orang tua tetapi sedikitpun belum pernah memberikan sesuatu kepada mereka. Aku juga mengamati kebiasaan di desaku yang sudah aku lupakan, ternyata masih sama seperti dulu. Mereka bekerja seperti biasa : membuat genteng seperti Mama dan Bapakku. Kadang aku berfikir apa mereka tidak bosan, apa mereka tidak ingin hidup yang lebih baik? Tapi aku sendiri merasakan kenyamanan jika berada di kampung halamanku sendiri walaupun dengan kehidupan yang begitu-begitu saja. Itulah yang aku bilang zona nyaman. Mungkin akan susah untuk maju kalau kita sudah nyaman dengan suatu keadaan.
Kemudian, setelah tiba saatnya aku datang ke Jakarta, aku harus menjalani hidup yang sepi lagi di sini. Aku tinggal bertiga dengan suamiku dan ibu mertuaku. Sebenarnya aku sangat ingin menjadi ibu rumah tangga yang sempurna dan mandiri seperti orang lain. Aku ingin mengurus suami secara eksklusif : memasak untuknya, mencuci dan menyetrika bajunya, dan merawatnya sepenuh hati untuk menjadi istri yang baik. Namun, karena kita masih tinggal di rumah orang tua suamiku, aku tidak begitu leluasa melakukan itu semua. Aku masih terpaku pada peraturan rumah ini dan beberapa pekerjaan rumah dikerjakan oleh ibu mertuaku. Sebenarnya tidak enak juga, aku hanya nyapu dan ngepel aja tapi kalau diambil positifnya banyak enaknya juga jadi tidak terlalu repot mengurus rumah, apalagi aku orangnya malesan.
Ibu mertuaku orang yang rajin dan sangat teliti, beliau juga sangat perhatian dengan anak-anaknya. Karena tinggal suamiku yang serumah dengan ibu, beliau memfokuskan diri mengurusnya, padahal aku kan seorang istri yang pasti juga ingin mengurus suami. Jadi, antara aku dan ibu mertua seperti terjadi perang dingin untuk berlomba seperhatian mungkin dengan satu orang yang sama..haha lucu ya. Kadang, aku juga menangkap pertentangan batin suamiku yang bingung antara memilih istrinya atau ibunya.
Untuk masalah berpendapat dalam menentukan suatu hal, sebagai seorang istri tentu aku ingin punya andil dalam keputusan yang akan dimbil, tetapi sebagai seorang anak, suamiku masih sangat bergantung pada ibunya. Awalnya sih aku tidak keberatan dan santai saja menerimanya, tetapi suatu saat ada seseorang yang berpendapat bahwa seorang suami harus bisa menentukan keputusanya sendiri untuk hasil yang terbaik karena ia sudah menjadi pemimpin dari keluarganya. Aku jadi berpikir dan merasa berontak, ingin aku katakan itu pada suamiku supaya ia tidak selalu mengikuti kemauan ibunya saja. Namun, aku merasa tidak punya hak untuk itu dan akhirnya nasehat Mamaku mulai merubah fikiranku lagi. Menurut Mama, memang seorang istri itu pertama harus patuh pada suami baru orang tuanya, tetapi seorang laki-laki tetap yang pertama adalah patuh terhadap orang tuanya terutama ibu, jadi jangan sampai menjadi istri yang membawa suaminya untuk tidak patuh pada ibunya. Akhirnya sekarang aku mulai menerima lagi posisiku.
Suatu hal yang bisa aku ambil pelajaranya adalah bahwa untuk membangun rumah tangga kuncinya adalah bersyukur dan menerima karena banyak contoh kegagalan rumah tangga yang disebabkan karena kufur.

Dan perjalanan rumah tangga kami masih panjang di depan sana, tentu tidak semulus yang dibayangkan karena pasti akan banyak ujian yang Allah berikan, semuanya tidak lain adalah untuk membentuk diri yang semakin kuat, dewasa dan dekat denganNya. Hadapi dengan selalu berusaha untuk tersenyum karena aku harus tetap menjadi bbusmile dan aku akan punya anak yang bahagia dan selalu berbagi senyuman 'ddkusmile^^' insyaAllah.

2 komentar:

  1. Duh dedeknya ngegemesin, jadi pengen cubit pipi ibunya... #lho?! :D

    Terima kasih, kisah yang menarik untuk menjadi pembelajaran bagi para calon istri dan calon ibu, termasuk aku. :)))

    BalasHapus
  2. huhuu kok pipi ibunya ;o

    ya sm2 calon ibu..trmksh juga udah mw baca hehe

    BalasHapus