Sabtu, 27 April 2013

Kisah Bore dan Semut




“Lihat saja, aku akan membunuhmu Semut kecil, kau telah merusak seluruh harapanku, seluruh hidupku. Akan kukejar kemanapun kau pergi dan akan kudapatkan kau!”


Bore menggerutu, keningnya ditekuk, matanya melotot sambil terus mencari-cari Semut itu. Sejak kejadian tadi pagi di bawah pohon kapur, Bore mendadak menjadi pendiam, tidak menghiraukan sekelilingnya dan tidak berlaku seperti biasanya. Bore terus-terusan mengejar-ngejar Semut itu dan saat tak mendapatkanya, ia marah-marah dan berteriak. Semua orang yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepalanya dan mengecap lidah kosongnya.


Bore masih saja mengikuti kemana Semut itu pergi, dan matanya selalu mendapatkan jejaknya, namun tanganya tak pernah dapat menyetuhnya, apalagi menangkapnya dan membununuhnya.


Semut berlari kencang bagaikan roket yang meluncur. Bore dengan langkah pendeknya masih bisa menyalipnya, dan sekali lagi : gagal menangkapnya. Tiba-tiba Semut masuk ke lubang kecil dibawah pohon kapur, Bore mengikuti Semut dan berhasil masuk ke lubang kecil itu, lubangnya tidak lebih besar dari lingkaran cincin seorang perempuan dewasa. Lubang itu begitu gelap hingga ia hanya dapat melihat sorot mata Semut.


Semut membuka matanya lebar-lebar hingga terpancar jelas sorot mata itu ke arah Bore. Bore memandangnya dengan ragu. Semut berjalan lagi, Bore terus mengikuti. Semut berjalan lagi, kali ini lebih pelan dan seolah-olah membimbing Bore untuk mengikutinya. Bore mantap membuntuti Semut. Semut berjalan menyusuri lorong yang gelap, hanya sorot matanya yang menerangi jalan Bore.


Cahaya tiba-tiba menyusup ke lubang kecil-kecil di depan Semut. Semakin besar dan besar, hingga akhirnya seluruhnya terang benderang. Bore memicingkan matanya, cahaya membuat pupil matanya semakin menyempit. Dan pada akhirnya Bore dapat melihat seluruh ruang itu.


Betapa terkejut Bore ketika menaburkan pandangan ke segala arah. Semua cahaya itu ternyata memancar dari abjad-abjad yang berserakan, menggunung, membanjiri seluruh ruangan itu. Ruangan yang tadinya hanya sebuah lubang sebesar lingkaran cincin jari orang dewasa, tiba-tiba menjadi tak terhingga luasnya. A,M,L,T,Z,O,W,Q,Q,S,X, semua abjad itu tak beraturan dan tak membentuk kata yang bermakna.


Bore begitu terpana dengan pemandangan ini sehingga ia melupakan keberadaan Semut. Bore membiaskan pandanganya ke segala arah, masih mencari Semut, dan gagal. Kali ini, ia benar-benar kehilangan jejak Semut. Ketika Bore sibuk mencari-cari Semut, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berat mendekat.


“Bore”


Suara itu mendengungkan namanya. Bore terkesiap dan tubuhnya sempat bergetar, hingga ia memalingkan wajahnya ke arah sumber suara.


“Aristoteles”. Ucap Bore sambil sedikit terperanjat.


“Iya, apa yang anda lakukan?”


“Sungguh aku tidak mengira ada tempat seperti ini dan dapat bertemu orang sepertimu”


“Di dalam segala hal yang ada di alam semesta ini, sesungguhnya kita bisa melihat banyak keajaiban[1]”


“Benarkah? Sungguh akal sehatku tak dapat mencerna semua ini.”


“Akal sehat adalah sesuatu yang memiliki kemampuan untuk menerima dirinya dengan apa adanya tanpa masalah[2]”


“Baiklah, mungkin memang akalku tidak sehat. Lalu, dengan siapakah kau di sini? Apa kau bersama Plato, sahabatmu?”


“Plato adalah sahabat baik saya, tapi sahabat terbaik adalah kebenaran[3]”


“Baiklah kalau begitu, oh iya aku mencari Semut yang telah membawaku kemari. Tahukah kau dimana semut itu berada?”


“Tidak.”


“Semut itu telah menghancurkan acara kencanku dengan istriku, aku benar-benar marah terhadapnya dan aku akan membunuhnya, lalu Semut itu menyesatkanku hingga berada di tempat ini dan membuatku mengecil seukuran lingkaran cincin jari orang dewasa.”


Hening....


“Apa salah jika aku marah?” kata Bore.


“Setiap orang bisa menjadi marah, itu adalah hal yang mudah, tetapi menjadi marah kepada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, di saat yang tepat, dengan tujuan yang tepat serta dengan cara yang tepat, bukanlah kemampuan setiap orang dan bukanlah hal yang mudah[4]”


“Baiklah, lalu aku harus bagaimana? Bagaimana aku keluar dari tempat ini?”


“Janganlah berputus asa. Tetapi jika anda sampai berada dalam keadaan putus asa, berjuanglah terus meskipun dalam keadaan putus asa[5]”


Aristoteles membalikkan badanya, kemudian melangkah dengan mantap ke arah gunungan abjad-abjad yang berserakan. Mata Bore mengikuti gerak Aristoteles. Hingga akhirnya Bore terpaku dalam diam. Di tegak pondasi kaki-kakinya ia terus menatap Aristoteles dari kejauhan. Ia memandang Aristoteles yang tengah mengumpulkan huruf demi huruf abjad itu, kemudian menyusunya hingga terbentuk suatu kata, dan kalimat. Kemudian kata dan kalimat itu menjadi bercahaya, secerah mutiara yang memantulkan cahaya surya. Lalu kata dan kalimat itu di tempelkan di hatinya, kemudian diambilnya lagi dan di masukkan ke otaknya dengan perlahan-lahan. Tubuh Aristoteles menjadi bersinar, memekakan mata Bore. Bore berdecak kagum melihat hal itu, ia terus memperhatikan apa yang dilakukan Aristoteles meski dengan sedikit menyipitkan matanya yang tak kuat terpancari cahaya Aristoteles.


Bore lebih tercengang lagi ketika ia kemudian melihat Imrul Qaisi, Jalaludin Rumi,Ibnu Sina, Plato, Isaac Newton, William Shakespeare, dan...banyak sekali orang-orang yang melakukan hal yang sama dengan Aristoteles. Kemudian mereka semua bercahaya, dan sungguh cahaya itu tak mampu ditanggung matanya hingga membuat bulu matanya tak kuasa menegak. Bore meraba-raba tumpukan abjad di depanya, mengikuti orang-orang itu. Bore mengambil huruf-huruf lalu disusunya menjadi beberapa kata. Kata yang sangat sederhana “L-O-V-E-- M-A-K-E-S--L-I-F-E—L-I-V-E” . Kemudian ia mengikuti orang-orang, menempelkan kata-kata itu di hatinya, mengambil kembali dan menyisipkan ke otaknya. Seketika sekujur tubuh Bore bercahaya, ia kemudian tiba-tiba berada di bawah pohon kapur tempat mula ia berada.


***


Saat mentari terkesiap mendengar waktu berdentang untuk manusia bangun dari peraduan, Bore tengah asik duduk berdua bersama istrinya, Salma di bawah pohon kapur.


“Salma, semut itu, semut yang berjalan di kulit pohon kapur ini, dia begitu hebat.”


“Bagaimana bisa sayang?”


“Iya, dia kecil tapi dia besar.”


“Maksudmu?”


“Tubuhnya kecil, tak lebih besar dari kuku jari kelingkingmu, tapi kalau ia dapat berkata dengan hati dan otaknya, ia bisa mengubah seluruh dunia ini sayang.”


“Bagaimana mungkin sayang? Semut tidak bisa berkata-kata, dan otaknya, apa mungkin otaknya bisa berfikir?”


“Kata-kata itu bukan hanya ucapan atau tulisan sayang, kata hanyalah salah satu bahasa untuk mengungkapkan maksud, namun terlalu banyak maksud yang disampaikan dengan kata sehingga aku memilih kata sebagai wakil dari maksud, dan meskipun otak semut tidak sesempurna manusia, tapi bukankah semut masih punya otak?”


“Kalau begitu, mengapa yang mengubah dunia bukan semut itu, tapi manusia?”


“Karena Tuhan menciptakan manusia dengan otak lebih sempurna dan Tuhan menciptakan manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini, sehingga manusialah yang bertugas mengubah dunia.”


“Kalau begitu sayang, semut tidak mungkin mengubah dunia?”


“Bisa, kalau Tuhan menghendaki”


“Jadi, apa yang bisa mengubah dunia? Semut, kata-kata, hati,otak atau Tuhan?”


“Jawaban itu ada pada pertanyaanmu sayang.”


“Aku tidak mengerti.”


Hening


Mereka terdiam dalam kata yang terpendam. Mereka sama-sama berfikir untuk apa sebenarnya mereka membicarakan hal ini. Kata-kata memang sebuah maksud, tapi diam juga sebuah maksud. Apakah diam juga kata-kata?


Jelas, karena diam adalah kata yang terdiri dari abjad D-I-A-M.






END


Fakultas Adab, 26 April 2013-04-26


15 : 26


(bbusmile^^)






[1] Kata-kata bijak Aristoteles : kata-kata-mutiara.org


[2] ibid


[3] ibid


[4] ibid


[5] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar